MY PROFIL

Sabtu, 01 Januari 2011

Anwar Nuris el-Ali, M.Si.

Lulus sebagai wisudawan predikat cum laude dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,76 pada Program Pascasarjana Politik dan Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Jakarta tahun 2009 membuat Nuris semakin tegak menatap masa depannya. Kini, putra dari seorang nelayan itu berusaha sekuat tenaga membangun peradaban baru dalam setiap sisipan sejarah hidupnya, yakni sebuah peradaban yang tak lekang oleh panas matahari dan tak lapuk oleh turunnya hujan.
Terlahir dengan nama lengkap Anwar Nuris pada hari Rabu tanggal 10 Maret 1982 dalam sebuah keluarga kecil di pesisir kampung Desa Prenduan, Nuris (begitu sapaan akrabnya) mengawali sejarah hidupnya. Sejak kecil hingga remaja, dia menghabiskan masa pendidikan di desa itu; Taman Kanak-kanak di Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan (Lulus 1988), Sekolah Dasar Negeri Prenduan I (Lulus 1994), Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Tegal Al-Amien Prenduan (Lulus 1997). Hingga datangnya inisiatif dari kakak kandungnya (Harizi) untuk mendaftarkannya ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 2 Pamekasan, Nuris muda sama seperti layaknya anak-anak pedesaan lainnya.
Keadaan juga tidak banyak berubah saat dia menjadi siswa di SMUN 2 Pamekasan selama 3 tahun. "Selama di SMU itu, saya hampir kehilangan rasionalitas kesederhanaan layaknya pelajar yang gila terhadap ilmu pengetahuan. Setiap hari Kamis dan Sabtu, saya bolos sekolah dan nongkrong bersama teman-teman di Billiyard Surya dan Sampoerna Pamekasan. Sebuah sikap 'pengkhianatan terhadap orang tua' yang belakangan sangat saya sesali", kenangnya sambil matanya berkaca-kaca.
Setelah menamatkan jenjang pendidikan SMA-nya pada tahun 2000, Nuris kembali membuat keputusan untuk kuliah (sekaligus sambil mondok) di STAI (sekarang IDIA) Prenduan. Keputusannya ini sekaligus menolak ajakan temannya untuk kuliah di Universitas Brawijaya.
Pada masa-masa awal di pondok, dia merasakan kontur hidup yang berbeda dengan di luar. Baginya, iklim pesantren (dengan sistem full day education-nya) memungkinkan terjadinya transfer of knowledge secara paripurna bagi pengembangan intelektual para santrinya. Karena itu, sejak semester 2 dia senantiasa berusaha bergaul dengan buku-buku. Semangat untuk intim dengan buku-buku dalam dirinya itu dilatari oleh dua spirit: Pertama, wahyu pertama Allah SWT kepada Nabi Muhammad berupa kata “ IQRA’ ” adalah metode hidup yang penting. Menurutnya, apa alasan dan bagaimana Allah SWT menjatuhkan pilihan wahyu pertamanya kepada kata IQRA' yang memiliki konotasi makna menganalisa dan meneliti itu? Kenapa pilihan wahyu pertama itu tidak jatuh pada kata ihfadz (hafalkan), I'mal (kerjakan) dan lain sebagainya?. Pertanyaan-pertanyaan mendasar semacam itulah yang, pada akhirnya, membuat dia tidak punya alasan untuk tidak melakukan aktifitas IQRA' sepanjang hidupnya. Spirit Kedua, menurutnya, yakni keyakinan bahwa sebuah lembaga atau sarana pendidikan hanya bersifat pendorong/pendukung dan bukan pembentuk. Keyakinan ini ia titik-pijakkan pada kenyataan bahwa tak satupun lembaga pendidikan yang berkualitas sekalipun di dunia yang dapat menjamin murid dan alumninya sukses. Karena itu, dia berkesimpulan bahwa kecerahan masa depan seseorang itu berbanding-lurus dengan inisiatif orang tersebut saat ini, bukan pada inisiatif orang lain. Berbekal dua semangat ini, dia berusaha mendedikasikan dirinya sebagai pendidik, peneliti, dan pengabdi. Sebuah pilihan sikap yang di-derivasikan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian.
Pada tahun 2004, jenjang pendidikan strata 1-nya berhasil diselesaikan. Kemudian dia melanjutkan pengabdiannya pada almamater tercintanya IDIA Prenduan selama 2 tahun; sebagai asisten dosen di IDIA Prenduan pada tahun pertamanya dan tahun berikutnya sebagai ketua divisi kajian pada Pusat Studi Islam (PUSDILAM) Al-Amien Prenduan. Pengalaman-pengalaman belajarnya selama dua tahun pengabdian ini berhasil memperkokoh idealisme-nya untuk melanjutkan masa belajarnya ke jenjang strata dua (S2). Tak tanggung-tanggung, pilihannya kala itu jatuh pada program pascasarjana Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Baginya, Universitas Indonesia (UI) Jakarta akan memberikan pengalaman belajar yang berbeda mengingat Universitas Indonesia (UI) Jakarta merupakan perguruan tinggi yang paling qualified di nusantara ini.
Maka, pada pertengahan tahun 2007, dia berangkat ke Jakarta untuk mencoba merealisasikan idealisme yang belum tercapaikan itu. Kala itu, sebelum diterima di Universitas Indonesia (UI) Jakarta, ia terdaftar sebagai salah satu mahasiswa pascasarjana di Islamic College for Advance Studies (ICAS) Jakarta pada jurusan Islamic Philosophy. Islamic College for Advance Studies (ICAS) ini merupakan lembaga cabang ICAS-London yang dibuka di Jakarta atas hasil kerjasama Universitas Paramadina Jakarta dengan ICAS London. Tapi sayang, proses belajar filsafat Islam-nya di ICAS ini harus ditinggalkan setelah jadwal kuliahnya berbarengan dengan jam mata kuliahnya di Universitas Indonesia (UI) Jakarta.
Di UI-pun dia memiliki pengalaman belajar yang berbeda. Pada program politik dan hubungan internasional, dia belajar bersama teman-temannya yang kesemuanya memiliki background keilmuan Hubungan Internasional pada S1-nya yang mereka tempuh pada perguruan tinggi – perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung. Pendek kata, hanya dia-lah yang berasal dari Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan yakni sebuah perguruan tinggi swasta yang berdiri di sebuah pedesaan. Kekecilan dan keterasingan nama IDIA di telinga mereka tidak membuat sosok Nuris menjadi kerdil ditengah-tengah mereka. Sebab, lagi-lagi, dia meyakini bahwa kualitas personal itu ditentukan oleh semangat dan cara belajarnya dan tidak ditentukan oleh nama ataupun lembaga dimana dia belajar. Sebuah prinsip hidup yang dibangun atas pengalaman-pengalaman belajarnya di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan.
Dengan semangatnya yang menggebu-gebu, dia berhasil menampilkan performa terbaik-nya didepan teman-temannya itu terutama dalam acara diskusi-diskusi intra kampus maupun ekstra kampus. Keterampilannya dalam tulis-menulis dan kemampuannya dalam komunikasi verbal telah membuat teman-teman kuliahnya tidak lagi memandang sebelah mata kepadanya. Dan Akhirnya, setelah mengetahui kemampuannya itu, semua teman-temannya itu sepakat untuk menunjuk lulusan IDIA ini sebagai ketua angkatan dan sebagai perwakilan fakultas dalam beberapa event internasional yang diadakan oleh pihak kampus dan Departemen Luar Negeri (Deplu) Indonesia.
Alumni Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) inipun berhasil menyelesaikan masa studi S2-nya selama 3 semester (lebih cepat 1 semester dibanding masa studi normal S2 yakni 4 semester). Ditambah lagi, kualifikasi indeks prestasi kumulatif (IPK) yang diperolehnya telah melebihi batas minimal kualifikasi cum laude yang ditetapkan oleh Universitas Indonesia (UI) yaitu 3.71.
Akhirnya, pada tanggal 31 Januari 2009, anggota shof Brimia Fidelity ini diwisuda bersama 1568 wisudawan S2 lain dari berbagai jurusan dengan predikat cum laude. Sebuah bukti nyata bahwa alumni Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan kini layak untuk disejajarkan dengan alumni perguruan tinggi kenamaan lainnya di Indonesia. Selamat berjuang generasi IDIA selanjutnya

Read More..
T I T I K -- B A L I K © 2008 Template by:
Anwar Nuries